Halaman ini memberikan dasar-dasar yang diperlukan untuk memahami perilaku Bintang Laut Mahkota (COTS) dan fenomena ledakan populasi yang umumnya dikenal sebagai Wabah COTS atau Penyebaran COTS yang memiliki potensi besar untuk menghancurkan terumbu karang di Indo-Pasifik.
Pengantar
Diantara berbagai gangguan skala besar yang mempengaruhi terumbu karang Indo-Pasifik, bintang laut pemakan karang, Acanthaser planci (Mahkota Duri, yang selanjutnya disebut dengan istilah COTS) adalah salah satu penyebab kerusakan terumbu karang, yang besaran dampak secara kuantitatifnya sama dengan dampak dari adanya siklon. Penanganan dan pemantauan COTS dengan melibatkan warga desa setempat dengan metode alami berbiaya rendah diharapkan dapat berhasil melindungi bagian-bagian penting dari terumbu karang, serta membantu mereka dalam menghadapi ancaman lainnya.
Ekologi dari COTS
Mahkota duri, predator karang
Acanthaster planci (“mahkota duri”, COTS) adalah spesies bintang laut yang sangat besar, yang selama ini diamati disepanjang terumbu krang di wilayah perairan Indo-Pasifikis. Spesimen ini dapat mencapai ukuran diamater hingga 70 cm dengan berat 30 Kg; dengan warna yang cukup bervariasi menurut wilayah. Spesies ini memiliki banyak lengan (biasanya 16 sampai 18) dan di bagian atasnya terdapat duri panjang yang dilapisi dengan steroid yang sangat beracun yang dapat menimbulkan sengat yang sangat menyakitkan. Meskipun mereka tampak bergerak lambat, namun mereka menunjukkan perilaku jelajah mangsa yang aktif (dapat mencapai 20 m/hari) dan berpotensi menyebrang dari satu terumbu karang ke terumbu karang lainnya dengan wilayah lintasan dasar laut yang dalam.
COTS memiliki kapasitas yang kuat untuk pulih dari cedera, dengan kemampuan untuk menumbuhkan Kembali lengan yang terputus. Jika satu COTS dipotong menjadi dua bagian, kedua sisi tersebut secara teoritis dapat pulih menjadi individu yang lengkap.
Reproduksi
COTS memiliki kapasitas reproduksi yang sangat luar biasa: seekor betina dewasa tunggal dapat melepaskan hingga 100 juta gamet, dengan tingkat pembuahan yang tinggi. Selama periode pemijahan, yang cenderung terjadi di musim panas ketika suhu air paling hangat, kondisi di mana COTS mudah stress jika disentuh, dimanipulasi atau dilukai, kesemuanya merupakan faktor yang dapat mendorong satu individu untuk bertelur, dengan melepaskna gametnya. Tidak hanya itu, satu individu yang melepaskan gametnya dapat dengan cepat memicu individu COTS lainnya untuk juga melepaskan gametnya masing-masing di waktu yang bersamaan. Larva ini dapat hanyut selama 10 hari di air sebelum akhirnya berkeliaran di dasar laut yang sangat memungkin untuk terbawa beberapa ratus kilometer dari tempat asalnya. Sebagian besar larva tidak dapat bertahan hidup hingga dewasa, hal ini menjadi alasan rendahnya kepadatan COTS di terumbu karang dalam kondisi normal. Selama 6 bulan pertama, COTS remaja pemakan alga yang berdiameter sekitar 1-10 mm kebanyakan ditemukan di daerah yang lebih dalam di dasar lereng terumbu karang; kemudian mereka secara bertahap menyebar ke atas untuk mencapai daerah yang kaya akan karang dan bersembunyi di bagian bawah atau celah karang untuk bersembunyi dan tidur di siang hari. Hal ini menjadikan mereka cukup sulit untuk dikenali. COTS dewasa juga sama aktifnya pada malam hari. Waktu-waktu di mana COTS dapat sangat mudah ditemukan biasanya pada saat wabah besar.
Perilaku Makan
Pada tahapan larva, COTS hanya dapat memakan plankton, sedangkan saat dewasa mereka berubah menjadi pemangsa karang atau yang dapat disebut dengan istila corallivores/korallivora: mereka memakan polip karang dengan mendorong perut mereka keluar dari mulut sebelum melepaskan enzim pencernaannya dimana perilaku ini biasa dikenal dengan istilah pencernaan extracorporeal. Setelah prosesnya selesai, hanya kerangka karang yang berkapur yang tersisa. Bekas karang yang telah dimangsa oleh COTS dapat diidentifikasi dari warnanya yang putih. Namun kondisi ini juga dapat membingungkan, dimana sebuah karang juga dapat berubah menjadi putih karena factor lainnya yang diakibatkan predator lain juga, seperti moluska (e.g. mollusc Drupella sp.) ataupun beberapa jenis penyakit karang lainnya.
COTS merupakan komponen alamia dari ekosistem terumbu karang. Dalam satu terumbu karang yang sehat, kepadatan populasi biasanya relative rendah dengan kisaran 1-10 individu COTS per hektar (100mx100m). Pada kondisi seperti ini, COTS tidak memberikan efek kerugian pada kelimphaan dan keragaman kumpulan terumbu karang. Sebaliknya, COTS berkontribusi untuk mempertahankan keanekaragaman karang yang tinggi melalui preferensi makanan yang ditandai dengan spesies karang yang tumbuh cepat, bercabang atau sub-masif (seperti Arcopora, Mantipora atau Pocillopora) yang biasanya lebih disukai dibandingkan dengan spesies karang yang besar namun memiliki itngkat pertumbuhan yang lebih lambat seperti Porites. COTS dewasa diketahui dapat mengkonsumsi sampai 12 m2/tahun dan memiliki predator, salah satunya adalah Charonia tritonis, meskipun Triton tidak tergolong dalam predator tetapnya; akan tetapi, penelitian terbaru mengatakan bahwa beberapa jenis ikan (stellate puffer Aothron stellatus, humphead wrasse Cheilinus undulatus, dan beberapa triggerfish baik yang berjenis kaisar atau boxfish) juga mulai memangsa COTS muda, cacat atau yang lemah. Usia COTS yang diketahui cukup panjang perlu diteliti Kembali. Namun, sampai saat ini dipercaya bahwa COTS dapat hidup hingga 10-15 tahun dalam kondisi ideal.
Penyebaran COTS
Fenomena COTS
Pada umumnya, COTS memiliki kepadatan yang cukup rendah, namun populaisnya dapat meningkat secara dramatis selama periode tertentu, dapat mencapai hingga puluhan ribu/Ha. Wabah ini dapat bertahan berbulan-bulaan atau bahkan bertahun-tahun di wilayah terumbu karang yang luas dan menjadi salah satu gangguan biotik yang paling signifikan yang dapat menyebabkan gangguan dan kematian terumbu karang yang luas dan massif. Kematian terumbu karang dapat mencapai atau lebih dari 90% dari satu ekosistem terumbu karang, yang mengakibatkan terjadinya restrukturisasi mendalam dari ekosistem dan fungsi dari terumbu karang itu sendiri.
Lebih dari sepertiga terumbu karang di wilayah Indo-Pasifik baru-baru ini terkena dampak wabah COTS yang cukup parah, yang menimbulkan kekhawatiran bahwa hal ini akan menjadi pemicu akan seringnya wabah ini muncul dan memberikan dampak buruk dan tekanan terhadap ekosistem terumbu karang dan laut yang semakin melemah. Dampak buruk dari hilangnya terumbu karang dapat sangat merugikan seluruh ekosistem terumbu karang dan dapat menyebabkan pergeseran dimana ekosistem dapat didominasi oleh alga, di mana kondisi ini akan menjadi sangat sulit untuk dipulihkan dan akan memakan waktu yang cukup lama yakni beberapa dekade. Hal ini kemudian menjadi satu kondisi yang perlu diperhatikan secara serius, terutama di daerah yang sumber daya pesisirnya merupakan basis penangkapan ikan tradisional dan subsisten, ang menjadi pegangan dan penunjang dalam penghidupan masyarakat local di sekitarnya.
Meskipun upaya penelitian terus dilakukan oleh para ilmuwan sejak tahun 1970an, penyebab dan dinamika wabah ini masih kurang dipahami. Beberapa peneliti percaya bahwa salah satu penyebabnya adalah terjadinya kelangkaan predator alami dari COTS karena adanya penangkapan berlebihan spesies ikan tritons, humphead wrasses, kaisar (emperor), dll. Penurunan kualitas air secara keseluruhan, terkait dengan aktivitas manusia, juga menjadi satu perhatian khusus dalam kerangka penyebab terjadinya wabah ini. Namun hipotesis ini tidak cukup untuk menggambarkan penyebab dari wabah pernah terjadi, terutama di wilayah terumbu karang yang sehat. Bagi peneliti lain, ledakan demografis ini dapat menjadi bagian dari siklus biologis spesies yang secara alamiah cenderung mengalami fluktuasi besar, yang diakibatkan oleh tingkat kesuburan yang sangat tinggi dari satu wilayah terumbu karang. Penelitian ilmiah terbaru menunjukkan bahwa tidak satupun dari hipotesis ini yang dapat menjelaskan secara utuh dan menyeluruh terkait sifat dari COTS itu sendiri yang pada dasarnya sangat kompleks, multifaktoral, dan dengan skala yang beragam.
“Ancaman COTS” dan perubahan global
Di Kawasan Ino-pasifik, frekuensi dan intensitas wabah terlihat meningkat, terutama dalam beberapa dekade terakhir. Kondisi ini disadari juga diakibatkan dengan adanya perubahan global yang mempengaruhi wilayah tersebut. COTS dapat berkembang dengan sangat baik di perairan hangat (26 hingga 30°C) dengan keberadaan fitoplankton, sehingga sangat sensitif terhadap efek perubahan iklim. Peningkatan suhu permukaan air laut dan pengayaan nutrisi di perairan pesisir (untuk kasus di Sulawesi Tenggara, dapat disebabkan oleh limpasan sedimen hasil kegiatan pertambangan atau perkebunan rakyat) dianggap sebagai factor utama dari keberlansungan hidup larva COTS yang dapat meningkatkan jumlah COTS yang berkembang dewasa yang berpotensi untuk mencapai terumbu karang. Mengingat kapasitas penyebaran spesies yang cukup besar, larva yang berenang terbawa arus dapat menyebar hingga ratusan kilometer dari tempat asalnya, sehingga perlu diperhatikan bahwa hal ini kemudian menjadi satu ancaman dari penyebaran COTS yang dapat menjadi masalah nyata dalam konteks perubahan iklim saat ini. Meskipun terdapat beberapa bukti sejarah bahwa ada beberapa terumbu karang yang dapat pulih dari setelah adanya serangan wabah COTS, namun pada umumnya proses pemulihan ini sangatlah lambat dan kondisi pemulihan yang juga tidak terjamin akan terjadi. Wabah COTS merupakan satu masalah dalam ekosistem, yang jika ditambah dengan adanya masalah lain, seperti gangguan alam semacam pemutihan karang, siklon tropis, dan beberapa penyakit karang lainnya, dan beberapa hal antropogenik lainnya seperti polusi, penangkapan ikan berlebihan, dan penambangan pesisir, akan sangat melemahkan ekosistem terumbu karang itu sendiri. Sebagai contoh, di Great Barrier Reef Australian, sebuah penelitian terbaru mengatakan bahwa terjadi penurunan tutupan karang hingga 50% selama 30 tahun terakhir dimana setengah dari penuruna tutupan karang tersebut diakibatkan oleh wabah COTS yang terjadi secara berulangkali.
Penanganan Penyebaran COTS
Di Sebagian besar negara pasifik, di mana sumber daya terumbu karangnya menjadi basis perikanan tradisional, wabah COTS besar-besaran dapat menjadi satu ancaman nyata terhadap ketahanan pangan dan mata pencaharian penduduk di kawasan pesisir. Masalah ini juga kemudian menjadi perhatian khusus dari industri pariwisata (klub selam, hotel, dll) yang aktivitasnya sangat terpengaruh dengan kondisi terumbu karang, perubahan kondisi perairan yang sangat cepat yang tidak terkendali, serta konservasi dan pengelolaan lingkungan hidup biota laut.
Untuk saat ini, diketahui hanya Tindakan manusialah yang kurang lebih dapat dikatakan berhasil menangani penyebaran dan perkembangan COTS, yang juga sangat tergantung dengan tingkat kejadian dan karakteristik terumbu karang yang terkena wabah COTS, baik dalam segi ukurannya serta kerentanannya, kondisi sosial ekonomi lingkunganan perairannya, serta sumebr day ayang tersedia, baik manusia dan sumber dukungan pelaksanaan penanganan COTS. Karena ancaman wabah COTS yang telah berlipat ganda pada wilayah terumbu karang hampir di seluruh wilayah perairan dunia (yang disebabkan oleh pemanasan global, penangkapan ikan berlebihan, penangkapan ikan komersial, pembangunan pesisir, pariwisata, dll), saat ini kebanyakan masyarakt juga telah menyadari bahwa mengurangi tekanan atau ancaman yang dihadapi oleh erumbu karang yang disebabkan oleh COTS adalah penting dalam meningkatkan ketahanan terumbu karang. Tindakan penanganan proaktif seperti tindakan langsung untuk mengendalikan populasi COTS saat terjadi wabah, saat ini semakin dianjurkan di seluruh wilayah pasifik, terutama jika terumbu karang berada dalam kondisi yang terancam.
Usaha yang telah dilakukan dalam penanganan penyebaran COTS
Berbagai metode telah dikembangkan sebelumnya dalama rangak pengendalian wabah COTS, dengan tangka keberhasilan yang masih terbatas, seperti misanya: pemindahan langsung menggunakan tongkat, pengahncuran, pembangunan pagar bawah air, dan yang metode yang baru-baru ini dilakukan, yakni dengan penyuntikan berbagai bahan kimia atau patogen. Di negara-negara Indo-Pasifik, pengumpulan manual yang berakhir pada pembuangan COTS ke wilayah daratan merupakan upaya sederhana dengan skala kecil yang paling umum dilakukan.
Namun, efesiensi Tindakan ini masih kontroversial, terutama dalam kerangka perlindungan terumbu karang. Kesuksesan skala kecil, terkadang cenderung hanya memberikan solusi jangka pendek untuk fenomena wabah COTS yang tergolong kompleks ini, yang dimana penyebab utama sampai saat ini masih belum dapat ditemukan atau dimengerti. Inisiatif pemindahan COTS tidak dapat menjawab permasalahan penyebaran dan perkembangan COTS yang dapat dengan cepat kembali mengkolonisasi area terumbu karang yang telah dibersihkan. Beberapa factor pembatas dari keberhasilan metode pengangkatan COTS adalah diantaranya kuas dan topografi dari wilayah terumbu karang, populasi, sumber daya manusia serta dukungan keuangan yang tersedia untuk melakukannya secara reguler.
Metode injeksi kemudian dipercaya sebagai metode yang paling hemat biaya dan lebih efektif dibandingkan dengan metode pengumpulan COTS, sebab metode ini menggunakan larutan yang disuntikkan , yang dapat menyebabkan kematian pada individu COTS. Akan tetapi, harus dikatakan bahwa metode ini pun masih memiliki beberapa kelemahan, diantaranya penggunaan bahan kimia seperti tembaga sulfat, natrium bisulfat, formaldehida, ammonia, pemutih, dan beberapa bahan kimia lainnya yang pada saat yang sama juga berbahaya karena memiliki efek racun yang tinggi terhadap lingkungan sekitar serta spesies lainnya.
Solusi terbaik saat ini: injeksi asam, sebuah alternatif baru yang murah dan alami
Pendekatan baru yang menggunakan injeksi zat asam alami, yang cukup terjangkau, baru-baru ini telah dikembangkan oleh IRD. Pengujiannya dilakukan baik di laboratorium dalam kondisi yang terkendali dan secara langsungg di lapangan, menunjukkan keberhasilan. Yaitu kematian COTS melalui injeksi beberapa jus buah (jenis jeruk nipis dan markisa), cuka putih, dan beberapa asam bubuk yang dapat dengan mudah diperoleh dari industri pangan pertanian. Zat-zat tersebut dapat menyebabkan tingkat kematian yang tinggi, bahkan dengan dosis rendah dengan kematian 100% dalam kurun waktu 12-24 jam. Saat ini, metode ini menjadi alternatif yang ramah lingkungan serta kredibel dalam memerangi wabah COTS di seluruh negara. Telah diuji oleh IRD sejak 2014 di Vanuatu dan New Caledonia, metode ini terbukti efisien di lapangan dengan pemberantasan COTS yang lebih dari 1 ton dalam kurun waktu 2 hari.
Sebuah sistem penanganan local: pemantauan oleh amasyarakat local dan pendekatan menyelam
Keberadaan wabah yang tidak dapat diprediksi ini membuat penanganannya menjadi sangat kompleks. Meskipun efektif, namun metode pengendalian ham aini hanyalah pengobatan simtomatik dari fenomena tersebut. Dibutuhkan deteksi dini dari keberadaan COTS di wilayah terumbu karang. Hal kemudian terlihat menjadi satu tugas yang sangat berat bagi negara-negara yang memiliki formasi terumbu karang yang sangat luas seperti Indonesia, karena pemantauan jangka panjang membutuhkan sumber daya yang cukup besar juga, yang seringkali tidak tersedia bagi pengelola kawasan lindung dan organisasi konservasi laut.
Alternatif yang menarik dari tantangan tersebut di atas adalah, pembentukan jaringan pemantauan yang dapat dilakukan oleh warga lokal, di man pengumpulan data dilakukan oleh warga lokal yang juga merupakan pengguna data tersebut (Biasanya masyarakat nelayan dari desa terdekat, pemandu wisata atau penyelam). Nelayan, pada dasarnya dapat dengan mudah melakukan survey setiap bulan di beberapa lokasi yang berjarak dengan dengan lokasi penangkapan ikan mereka. Data hasil survey kemudian dapat diteruskan di tingkat desa lalu kemudian dipusatkan salam satu laporan hasil survey yang dpaat dibagikan kepada pengelola sumber daya alam (BKSDA, KKP, dan BPSPL) dan atau organisasi konservasi laut. Jika satu titik menunjukkan adanya keberadaan COTS yang melebihi ambang batas normal (dan telah dikonfirmasi oleh pengamat kedua), makan dapat dilakukan penringata dini akan wabah COTS. Selanjutnya, satuan tugas yang terdiri dari 5-6 penyelam scuba yang telah terlatih melakukan metode injeksi menggunakan bahan ramah lingkungan dapat diturunkan ke lokasi terumbu karang yang telah terserang oleh COTS untuk melakukan pemberantasan
Kredit
This material was put together for a workshop held in 2021 in Kendari, Southeast Sulawesi, Indonesia, with local diving clubs and government agencies involved in natural resources management. It was put together by Pascal Dumas (IRD – Centre de Nouméa, New Caledonia) and Yann Bigant (Naturevolution) and translated into Indonesian by Mutmainnah (Naturevolution Indonesia). Materi ini dikumpulkan dari lokakarya yang diadakan pada tahun 2021 di Kendari, Sulawesi Tenggara, Indonesia, dengan klub selam lokal dan lembaga pemerintah yang terlibat dalam pengelolaan sumber daya alam. Materi ini disusun oleh Pascal Dumas (IRD – Center de Nouméa, Kaledonia Baru) dan Yann Bigant (Naturevolution) dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Mutmainnah (Naturevolution Indonesia).